Oleh : Moh. Homaidi*

Pada dasarnya seseorang mempunyai kecondongan untuk berjama’ah atau berkelompok. Karena yang demikian itu merupakan fithrah manusia.

Dalam sebuah kisah diceritakan, suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin Khaththab dalam salah satu isi khutbahnya berkata:

“Siapa di antara kalian menginginkan kenikmatan surga, hendaklah ia senantiasa komitmen dengan Jamaah.”

Dalam kesempatan yang lain, Umar juga berkata:

“Tiada Islam tanpa jamaah, tiada Jama’ah tanpa imamah, tiada imamah tanpa taat dan tiada taat tanpa baiat.”

Sebuah keberuntungan apabila seseorang berjama’ah dalam kebaikan, sehingga menghantarkan orang lain lebih baik, baik dalam aqidah, ibadah, dan ijtima’iyyah (sosial).

Dan merupakan kerugian besar jika dalam berjama’ah lebih lebih mementingkan diri, bahkan merusak kelompok lain.

Maka pentingnya membentuk diri pribadi yang militan agar tidak ikut-ikutan dalam pusaran kesalahan di masyarakat.

Ustadz Abdurrahman menegasakan saat memberikan arahan kepada seluruh Murabbi ‘Ula dan Wustha pada acara “Silaturrahmi Dan Upgrading Murabbi” se-Jawa Timur. Pada Sabtu-Ahad (25-26/5/2024) bertempat di Pandaan-Pasuruaan (Ma’had Darul Hijrah), bahwa : “Pentingnya menjadi pribadi yang militan”.

Pembina Murabbi Jawa Timur tersebut menjelaskan, seseorang  yang memiliki militansi tinggi selalu cepat-tanggap, punya tekad yang kuat, teguh dalam kemandirian, ulet dalam bekerja, menggerakkan seluruh potensi darinya, dan tidak punya alasan untuk berhenti berbuat kebaikan dan kemaslahatan.

Bahkan seorang militan pasti tumbuh dalam dirinya jiwa murabbi, yang tidak lepas dari rasa kasih dan sayang terutama kepada orang yang belum tersibghah, serta tidak mudah mencela apalagi menyalahkan, tambahnya.

Menguatkan Tauhid

Berjama’ah dapat membentuk pribadi yang bertanggung jawab dan peka terhadap lingkungan. Tentu yang demikian itu akan menguatkan Tauhid dalam jiwa.

Tauhid adalah bangunan dasar yang harus termaktub dalam hati. Jika aqidahnya lemah maka apapun profesinya ia selalu menghantarkan kepada kemaksiatan dan pembangkangan.

Contoh kasus Abu Lu’lu’. Seorang tokoh Munafik karena membunuh Khalifah Umar Ibnu Khatthab dengan cara menikamnya.

Apa yang ia perbuat menggambarkan kebencian yang mendalam kapada Islam, padahal saat itu dirinya status sebagai Muslim, sehingga melalui kejadian kelam tersebut ia dinobatkan sebagai tokoh munafik, baik dalam aqidah maupun ‘amaliyah, dengan ciri tidak berkenan menunaikan syari’at, dan terkadang menampakkan syari’ah tapi menyembunyikan keragu-raguannya.

Maka, agar tidak terbawa arus dalam pusaran kemunafikan dan rusaknya aqidah, temukan jama’ah atau kelompok yang menghantarkan menjadi pribadi yang kader, leader dan murabbi yang profesional.[]

*Aktivis Sosial Dan Pendidik_Kota Batu

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.